Thursday, May 22, 2008

HIDUP SEDERHANA DAN JIWA SOSIAL SEBAGAI MODAL MENGABDI

Aku dilahirkan dari keluarga besar yang sederhana. Ayahku hanya seorang pegawai negeri sipil golongan dua. Kami bersaudara sebanyak tujuh orang (sebetulnya 10, tiga adikku telah meninggal di usia muda), dan aku adalah yang tertua. Ibuku seorang wanita teranggun dan terhormat dimata kami anak-anaknya, karena beliau hanya seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya dengan sabar mengurusi anak-anaknya yang bandel dan nakal.



Suatu petang pada tahun 1970, ibu yang sedang menggendong adik bungsu, bertanya kepadaku: “Mei, jika nanti kau sudah besar, kau mau menjadi apa, Nak ?”. Pertanyaan yang biasanya oleh kebanyakan anak seusiaku seringkali tidak disikapi serius, tapi aku justru menyambutnya dengan gembira bak menerima hadiah besar, : “Aku mau jadi Insinyur, bu !” kataku saat itu. Kulanjutkan lagi “Aku mau seperti Mang Herman”. Mang Herman, yang menjadi tokoh idolaku itu adalah seorang lelaki kerabat ibuku yang bersekolah di ITB dan menjadi petinggi di perusahaan otomotif besar Jepang, Mitsubishi, yang akhirnya berhasil menyunting putri dari owner Perusahaan Jepang itu dan kini bersama keluarga menetap di Jakarta. Keluarga Mang Herman ini juga sangat sederhana seperti keluargaku karena ayahnya seorang anggota TNI-AD dengan pangkat Bintara saja.

Tingginya cita-cita itu menunjukkan betapa sederhananya kehidupan kami, sehingga menjadi orang besar dan kaya raya adalah sebuah harapan dan target hidup. Tapi ternyata kehidupan tidak selamanya harus dilakoni seperti anganan tadi. Setamat SMA Xaverius I di Palembang, aku segera mengikuti jejak paman tadi dengan berkuliah di Bandung. Tapi yang aku pilih bukan ITB melainkan Unpad sesuai kemampuan otakku saat itu.





Setelah meraih gelar S1 dari Unpad, aku segera hijrah ke Jakarta. Beberapa bulan pontang-panting melamar pekerjaan, akhirnya aku lulus tes masuk kerja di DPA-RI, waktu itu sebuah lembaga tinggi negara yang cukup beken di kawasan Istana kepresidenan. Di sini hanya bisa bertahan 12 bulan, karena gaji yang kuterima sangat kecil. Tak sempat nganggur, kemudian aku diterima kerja di PT Caltex Pacific Indonesia untuk ditempatkan di Rumbai - Riau. Di perusahaan asing ini gaji yang kuterima cukup besar dan dengan dukungan fasilitas lumayan memuaskan. Bayangkan, tubuhku yang tadinya hanya 50kg dengan tinggi 172 cm akhirnya menjadi subur hingga sekarang, menjadi 92kg. Masya Allah !

Hidup di hutan Rumbai, meski gaji besar, tak dapat menahan aku untuk betah di sana. Seperti kebanyakan teman lain yang menjadikan Caltex sebagai batu loncatan untuk mengantongi sertifikat internasional sebelum terjun ke perusahaan domestik, maka aku pun ikut mundur dari CPI, setelah kerja empat tahun. Kemudian aku menapaki karir sebagai pegawai PT Garuda Indonesia hingga pensiun. Istriku memang tidak menginginkan aku pergi dan berpindah kerja lagi, cukup di Garuda saja, katanya. Istriku merasa sangat bahagia karena dengan fasilitas yang diberikan oleh Garuda maka ia bisa pulang kampung di Jogyakarta sesukanya dengan tiket gratis.

Selama bekerja di Garuda, aku beruntung telah dapat mengunjungi banyak kota besar dunia, sebut saja seperti Los Angeles, Honolulu, Singapore, Kualalumpur, Taipeh, Auckland, Wellington, Bangkok, Tokyo, Amsterdam, Geneve, Frankfurt, London, Moscow, Leningrad dan Tasken, serta masih banyak sederet kota dunia lainnya. Bersama istri, aku bersyukur telah dua kali menunaikan ibadah haji dan beberapa kali pergi umrah. Aku juga pernah ikut VVIP Flight menyertai Presiden Soeharto menghadiri KTT Negara-negara Nonblok di Beograd - Yugoslavia.

Pada tahun 2004, dari bulan Mei hingga September, aku menjadi koordinator Relawan Tim Sukses SBY di bandara Soekarno-Hatta. Seluruh karyawan di bandara aku rangkum menjadi penggembira untuk menghantar dan menyambut SBY yang selalu terbang dengan Garuda Indonesia. Pak SBY dan ibu Ani Yudhoyono tersenyum melihat pekerjaanku ini, karena suatu hari beliau bertanya kepadaku: "Tidak takut pak Ariman ?". Ibu Yuli, Pak Arifin, Pak Harry Purnomo, Pak H. Makmun, Pak Deddy Afriady, Pak Heru Lelono, Pak Asfihani, Pak Soekarnotomo, Pak Rachmat Witoelar dan Pak Djali Yusuf adalah orang yang bisa selau dekat aku saat itu. Ibu Yuli tidak jarang telpon di tengah malam untuk reservasi perjalanan SBY yang serba mendadak. Wajar, jika pada pernikahan mas Agus di Istana Bogor, aku termasuk salah satu undangan di sana.



Pada masa kampanye pemilihan presiden tahun 2004, hanya SBY satu-satunya kandidat Presiden yang melewati bandara Cengkareng dan mendapat dukungan sangat meriah. Beberapa kelompok penumpang yang ingin membuat foto bersama SBY, aku fasilitasi. Sekelompok turis asal Eropah minta berjabat tangan dan membuat foto bersama SBY, aku penuhi juga. Ibu-ibu yang mau pergi umrah pun minta berjabat tangan kepada SBY, aku kabulkan. Aku masih ingat mereka berpesan: "Kami doakan Bapak jadi Presiden." Pada hari terakhir perjalanan SBY sebagai orang sipil yang terbang dengan pesawat komersial (setelah KPU mengumumkan hasil akhir Pilpres), maka “pelepasan” SBY seakan menjadi puncak perpisahan. Pintu keluar terminal F padat oleh penggembira dan terikan "Hidup SBY". Pak JK dan ibu Mufidah yang menjemput di bandara, sempat terharu dan menghindar oleh gemuruhnya sambutan. Ibu Ani menitikkan air mata di dalam mobil Alphard biru tua B909YS sambil berujar: “Pak Ariman, terima kasih atas dukungannya yang luar biasa. Kami terharu. Suatu saat kami akan datang lagi ke Cengkareng tapi sebagai Presiden dalam kunjungan incognito. Sampaikan salam hangat kami kepada semuanya.” Itu pasti ucapan tulus dari Ibu Ani yang kini menjadi Ibu Negara. Janji berkunjung ke Cengkareng dibuktikan setelah lima bulan menjadi Presiden saat beliau menginspeksi Terminal 3 dan fasilitas lain di bandara internasional itu.

Sementara sisi lain dari kehidupanku, ketika masih mahasiswa di Bandung, aku mulai aktif memberikan darah demi kemanusiaan. Kini aku telah memberikan darah sebanyak 125 kali atau setara 30 liter darah yang disedot dari dalam tubuh untuk menyelamatkan jiwa orang lain.

Karena itu pula maka aku ditunjuk dan dipilih menjadi Sekretaris Jenderal dari Forum Komunikasi Dermawan Darah 100 kali atau disingkat FOKUSWANDA. Ini organisasi satu-satunya di tanah air yang menghimpun seluruh pendonor 75 kali ke atas. Banyak usaha dan kegiatan yang telah aku organisir bersama teman-teman dalam rangka membesarkan organisasi Fokuswanda dan memberikan nilai tambah bagi anggota yang kini mencapai 25.000 orang. (lihat artikel lain tentang Layanan Gratis Kesehatan bagi Pendonor Darah Sejati).

Dimulai di Bandung aku terlibat aktif sebagai anggota HMI, pengurus Student Association for Populations Study (SA), anggota Jaycess chapter Bandung dan menjadi Saksi pada Pemilu 1977. Di Jakarta menjadi Tim Formatur PDDI Jakarta Selatan.

Aku sangat mensyukuri segala limpahan rahmat Allah SWT ini, sebab semuanya telah aku lalui dengan baik, dari menjadi PNS, pegawai perusahaan minyak asing terbesar di dunia, dan terakhir menjadi BUMN yang dibanggakan oleh rakyat Indonesia karena kemana-mana selalu mengibarkan bendera Merah Putih dan karenanya pula aku bisa berkeliling dunia. Rasanya semua kebutuhan hidup telah aku nikmati sehingga tidak perlu ngoyo kejar kenikmatan dunia lagi. Yang belum aku lakukan adalah MENGABDI UNTUK KOMUNITAS DAN MASYARAKAT LUAS. SEBAGAI WARGA JAKARTA, AKU INGIN SEKALI BERPERAN AKTIF MEMBANGUN KOTA JAKARTA YANG NYAMAN, AMAN, MAKMUR, SEJAHTERA DAN MANUSIAWI.



Kesempatan itu kini telah datang di hadapan mata. Andalah yang akan menentukan kesertaan aku sekaligus menggapai cita-cita besar itu. Ibukota Jakarta harus kita bangun bersama, dan aku akan melaksanakannya dengan landasan KASIH yaitu Kritis, Amanah, Santun, Ikhlas dan Harmonis.

2 comments:

izpe said...

Bpk kita yg satu ini, memang betul2 punya jiwa sosial dan penolong yg tinggi..kapan pun dan dimanapun-kalo beliau mampu-pasti akan membantu siapapun yg membutuhkan..salut..satu hal lagi pak Ariman pasti akan langsung bertindak bila melihat sesuatu yg memang bukan pd tempatnya tanpa memandang siapa pun yg berbuat salah, bagi sy hal itu merupakan salah satu modal yg memang harus dimiliki oleh seorg wakil rakyat.
So Mr.Ariman..keep on forward, membela yg benar, meluruskan yg salah..!

Furqan said...

Tanpa bermaksud memuji berlebihan, saya mengenal Bang Ariman sebagai orang yg memiliki pengetahuan yg luas, berjiwa sosial yg tinggi, sederhana dan seorang Muslim yg saleh, Insyaallah figur2 seperti beliau jika menjadi wakil kita akan amanah.